Home » » Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan


Pengertian Pajak Penghasilan (PPH)

Sebelum kita membahas tentang Pajak Penghasilan, ada baiknya kita mengatahui tentang 'Pajak' itu sendiri. Karena dengan memahami tentang 'Pajak', kita akan mudah mempelajari dan mengerti tentang seluk-beluk perpajakan di Indonesia.

Pengertian pajak menurut Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Lima unsur pokok dalam defenisi pajak :

1. Iuran / pungutan
2. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang
3. Pajak dapat dipaksakan
4. Tidak menerima kontra prestasi
5. Untuk membiayai pengeluaran umun pemerintah

Jenis-jenis Pajak

Secara umum jenis pajak dibedakan menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Contoh dari pajak pusat adalah:
1. Pajak Penghasilan (PPh)
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
3. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Khusus jenis pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mulai tahun 2012 pengelolaannya disebagian dialihkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda).

Setelah kita mengetahui dan memahami pengertian serta jenis-jenis pajak, selanjutnya kita fokus pada pembahasan tentang Pajak Penghasilan (PPh).

Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) adalah :

Pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.

Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.

Subjek Pajak Penghasilan

Subjek PPh adalah orang pribadi; warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; badan; dan bentuk usaha tetap (BUT).

Subjek Pajak terdiri dari
1. Subjek Pajak Dalam Negeri
2. Subjek Pajak Luar Negeri.

Subjek Pajak Dalam Negeri adalah :

- Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

- Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, meliputi Perseroan Terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.

- Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

Subjek Pajak Luar Negeri adalah :

- Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia;

- Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh panghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau;

- melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

Tidak termasuk Subjek Pajak

1.Badan perwakilan negara asing;

2.Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:

• bukan warga Negara Indonesia; dan

• di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut; serta

• negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

3.Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :

• Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;

• tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;

4.Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :

• bukan warga negara Indonesia; dan

• tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Pada prinsipnya Pasal 4 UU Pajak Penghasilan (PPh) mengatur bahwa atas semua penghasilan merupakan objek Pajak Penghasilan kecuali ditetapkan lain oleh UU PPh bukan sebagai objek pajak, karena:
  1. UU Pajak Penghasilan (PPh) menganut pengertian penghasilan yang seluas-luasnya dengan nama dan dalam bentuk apapun. Hal ini sejalan dengan prinsip substance over form yang dianut UU PPh. Artinya, dalam penghitungan pajak hakikat ekonomis yang sebenarnya lebih diutamakan dibandingkan nama atau istilah yang diberikan atas penghasilan tersebut.
  2. jenis penghasilan sangat banyak dan luas dan akan semakin berkembang sesuai dengan kemajuan ekonomi sehingga tidak mungkin dapat memberikan jenis penghasilan yang menjadi objek pajak secara spesifik dalam undang-undang.
Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah memberikan batasan macam dan jenis penghasilan yang bukan Objek Pajak (tidak terutang pajak) sehingga jenis penghasilan yang tidak termasuk bukan objek pajak merupakan objek pajak dan terutang pajak.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Pajak Penghasilan (PPh) disebutkan bahwa yang menjadi Objek Pajak adalah Penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangutan dengan nama dan dalam bentuk apapun, antara lain:
  1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh, termasuk : gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UU PPh.
  2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
  3. Laba usaha.
  4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk:
    1. keuntungan karena penglihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
    2. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
    3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
    4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan (Permenkeu No.245/PMK.03/2008), sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
    5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruhhak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
  5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
  6. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian uang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang meneritkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
  1. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
Pengetian deviden termasuk pula:
    1. pembagian laba, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
    2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
    3. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
    4. pembagian laba dalam bentuk saham;
    5. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
    6. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
    7. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
    8. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penembusan tanda-tanda laba tersebut;
    9. bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
    10. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
    11. pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
    12. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
8.     Royalti
    Pengertian royalti adalahn imbalan sehubungan dengan penggunaan:
    1. hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merk dagang, formula, atau rahasia perusahaan;
    2. hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya;
    3. informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut.
Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.
  1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
  2. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
  3. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
  4. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
  5. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
  6. Premi asuransi.
  7. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
  8. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
  9. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
  10. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tatacara perpajakan (UU No.6 Tahun 1983 sttd UU No.28 Tahun 2007)
  11. Surplus Bank Indonesia.
Penghasilan yang menjadi objek pajak dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok, yaitu :
  1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
  2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan;
  3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta takgerak seperti bunga, deviden, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;
  4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan sebagainya.
Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 UU PPh, definisi penghasilan yang terutang atau dikenakan PPh mempunyai unsur sebagai berikut :
  1. Tambahan kemampuan ekonomis
  2. Yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak
  3. Baik yang berasal dari Indonesia maupunyang berasal dari luar Indonesia
  4. Yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk menambah kekayaan
  5. Dengan nama dan bentuk apapun

Penghasilan Yang Bukan Objek Pajak
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU PPh, jenis penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak, sehingga tidak terutang PPh meskipun diterima atau diperoleh oleh subjek pajak adalah :
1.      a. Bantuan atau sumbangan , termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah ( diatur dalam PP No. 18 tahun 2009 : zakat diterima badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan pemerintah , dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib diterima lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan pemerintah).
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satuderajat, dan oleh badan keagamaan atau badanpendidikan atau badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi atau badan social termasik yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu No 245/PMK.03/2008) sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikanatau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
  1. Warisan
  2. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti penyertaan modal. 
  3. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaana atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah, kecuali yang diberikan oleh : bukan wajib pajak, WP yang dikenakan pajak secara final atau WP yang menggunakan Norma Penghitungan Khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud pasal 15.
  4. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa.
  5. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
    1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan
    2. Bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.

  1. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawa.i
  2. Penghasilan dari modal yangditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.
  3. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif
  4. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh reksadana selama 5 tahun pertama sejak tanggal pendirian atau tanggal kontrak ( ketentuan ini tidak tercantum lagi dalam UU No. 36 tahun 2008 sehingga dihapus sejak 1 Januari 2009 dan merupakan Objek pajak )
  5. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bberupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
    1. Merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang mejalankan kegiatan dalam sector-sektor usaha yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan
    2. Sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia 
  6. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ( Permenkeu No 246/PMK.03/2008 : diterima WNI untuk pendidikan di dalam negeri pada tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi, terdiri dari : biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah, biaya ujian, biaya penelitian terkait bidang studinya, pembelian buku dan biaya hidup yang wajar di lokasi belajar)
  7. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
  8. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada wajib pajak tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarka Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu No 247/PMK.03/2008: Jamsostek, Taspen, Asabri, Askes, badan hokum lainnya penyelenggara Program Jaminan Sosial).
Pajak Penghasilan Pasal 22

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:
1. Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
3. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang;
2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah yang melakukan pembayaran, atas pembelian barang;
3. BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada angka 4;
4. Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun dari non APBN;
5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.
7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
8. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Tarif PPh Pasal 22
1. Atas impor :
a. yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;
b. yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
c. yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4) sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN dan tidak final.
3. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5) ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
a. Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
b. Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
c. Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
d. Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
Catatan:
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen bersifat tidak final
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7) ditetapkan sebesar 2,5 % dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor.
7. Atas Penjualan
a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20.000.000.000,00
b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000,00
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
d, Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
e. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.
8. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22
Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB).
2. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.
3. Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
4. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya yang jumlahnya paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos.
6. Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
8. Impor kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.
Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22
1. Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
2. Atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4 ) terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
3. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5) terutang dan dipungut pada saat penjualan;
4. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 6) dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);
5. Atas pembelian bahan-bahan (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.

Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
1. PPh Pasal 22 atas impor barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 1) disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
2. PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak rekanan ke bank persepsi atau Kantor Pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga, yaitu :
a. lembar pertama untuk pembeli;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa pajak berakhir.
4. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10 sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
5. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 4 ) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
6. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5, dan 7 ) dan hasil penjualan barang sangat mewah (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 8) disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
7. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 6) disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
a. lembar pertama untuk pembeli;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pajak Penghasilan Pasal 23
Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Subjek Pajak atau penerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap.

Pajak Penghasilan Pasal 23 
1.
badan pemerintah;
2.
subjek pajak badan dalam negeri;
3.
penyelenggara kegiatan;
4.
Bentuk Usaha Tetap;
5.
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
6.
orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23, yaitu :

a.
akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas; atau

b.
orang pribadi yagn menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran beruapa sewa.
 
Tarif Dan Objek Pajak 

1.
Sebesar 15% dari jumlah bruto atas :

a.
dividen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf "g" Undang-undang PPh;

b.
bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf "f";

c.
royalti;

d.
hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Ayat (1) huruf "e" Undang-undang PPh.
Hadiah dan penghargaan yang dipotong  Pajak Penghasilan 21 adalah hadiah dan penghargaan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan, misalkan kegiatan olah raga, keagamaan, kesenian, dan kegiatan lainnya.
Adapun hadiah dan penghargaan yang dipotong  Pajak Penghasilan 23 adalah hadiah dan penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan.
2.
Sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi.
3.
Sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas :

a.
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996;

b.
imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum, jasa konsultan pajak, dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf "c" Undang-undang Pajak Penghasilan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
Jenis Jasa Lain Dan Perkiraan Penghasilan Neto Atas Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa Lain 
 
No.
Perkiraan Penghasilan Neto
Jenis Jasa
1.
50% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
Jasa profesi, termasuk jasa konsultan hukum dan jasa konsultasi pajak
2.
40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
a.
Jasa teknik dan jasa manajemen
b.
Jasa perancang/desain :
u
Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan;
u
Jasa perancang mesin dan jasa perancang peralatan;
u
Jasa perancang alat-alat transportasi/kendaraan;
u
Jasa perancang iklan/logo;
u
Jasa perancang alat kemasan.
c.
Jasa instalasi/pemasangan :
u
Jasa instalasi/pemasangan mesin dan jasa instalasi/pemasangan peralatan;
u
Jasa instalasi/pemasangan listrik/telepon/air/gas/TV kabel.
d.
Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan :
u
Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan mesin dan jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan peralatan;
u
Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan alat-alat transportasi/kendaraan;
u
Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan  bangunan.
e.
Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, tidak termasuk sewa gudang yang telah dikenakan PPh Final berdasarkan PP Nomor 29 Tahun 1996.
f.
Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga.
g.
Jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi, termasuk jasa internet.
h.
Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum.
i.
Jasa akuntansi dan pembukuan.
j.
Jasa pengolahan/pembuangan limbah.
k.
Jasa penebangan hutan, termasuk land clearing.
l.
Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak gas dan bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap.
m.
Jasa penunjang di bidang penambangan migas.
n.
Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas.
o.
Jasa perantara.
p.
Jasa penilai.
q.
Jasa aktuaris.
r.
Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan/atau mixing film.
s.
Jasa maklon.
t.
Jasa rekruitmen/penyediaan tenaga kerja.
u.
Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan/pemeliharaan dan perbaikan.
3.
26,67% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
a.
Jasa perencanaan konstruksi.
b.
Jasa pengawasan konstruksi
4.
13,33% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
Jasa pelaksanaan konstruksi
5.
10% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
a.
Jasa pembasmian hama
b.
Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Perkiraan Penghasilan Neto Atas Penghasilan Sewa (Kecuali Persewaan Tanah/Bangunan) Dan Penggunaan Harta 
No.
Perkiraan Penghasilan Neto
Jenis Jasa
1.
20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
Sewa dan penghasilan lainnya sehubungan dengan pengunaan harta khusus kendaraan angkutan darat.
2.
40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Bukan Objek Pajak 
1.
penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2.
sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usahaa dengan hak opsi;
3.
dividen atau bagian laba yang diterimaa atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan syarat :

a.
dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

b.
bagi Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
4.
bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha:
5.
bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

a.
merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan

b.
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
6.
Sisa Hasil Usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
7.
bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Sesuai Keputusan Menteri Keuangan telah ditetapkan batas jumlah sebesar Rp. 240.000,00 setiap bulan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
Atas bunga simpanan yang jumlahnya di atas Rp. 240.000,00 dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari seluruh bunga yang diterima dan bersifat final.

Saat Terutang, Penyetoran, Dan Pelaporan 
1.
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan;
Yang dimaksud dengan saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan adalah saat pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan metode pembukuan yang dianutnya.
2.
Pajak Penghasilan Pasal 23 harus disetor oleh Pemotong Pajak selambat-lambatnya tanggal 10 takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
3.
Pemotong PPh Pasal 23 diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
4.
Pemotong PPh Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar Pajak Penghasilan yang dipotong.
Sumber:
http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-pasal-22
http://www.pajak.net/info/PPh23.htm

0 comments:

Recent Update

Language Translation

About Me

My photo
Assalamualaikum.. saya Aria mahasiswa dari Universitas Gunadarma Kalimalang
Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS